About Me

GERAKAN MAHASISWA KINI

Jika ditelaah terhadap kondisi kekinian kampus (khususnya pasca BHMN – BHP – isasi), liberalisasi, sekulerisasi, dan pragmatisasi memang telah semakin menggerus kampus. Dengan adanya BHMN – BHP – isasi yang diterapkan di kampus, menjadikan kampus tersebut otonom baik secara kelembagaan / tata kelola (governance), manajemen akademik (buka & tutup Program Studi), maupun pengelolaan keuangan atau finansial. Hal inilah yang kemudian menurut saya menjadikan kampus-kampus yang menyandang status BHMN tersebut, khususnya kampus-kampus besar nasional, sangat bergantung pada pasar. Dimana berikutnya, kondisi ini menjadi pintu gerbang atau landasan kuat adanya legalisasi penjualan aset intelektual secara komersial.
Meskipun saat ini tengah terjadi kekosongan landasan hukum terhadap status BHMN dan BHP (putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, yang dibacakan Maret 2010), namun tidak dapat dipungkiri bahwa upaya untuk mewujudkan status BHMN pada kampus-kampus yang kini tengah menyandangnya, merupakan proses panjang yang telah dilalui (kurang lebih 10 tahun berjalan). Oleh karenanya, berbagai adaptasi tata kelola sistem yang diterapkan institusi kampus pun telah banyak dilakukan, bahkan jika dapat dikatakan proses ini radikal – atau hampir pada semua lini.

Setting institusi (struktural) kampus yang sangat bergantung pada pasar, mempengaruhi pola interaksi institusi dengan civa kampus secara umum, khususnya lingkungan belajar mahasiswa. Berbagai tuntutan dan tekanan akademik diberikan kepada mahasiswa agar mereka mampu memenuhi kebutuhan pasar (industri kapitalis). Tuntutan atau tekanan tersebut mulai dari lamanya waktu belajar yang dibatasi, simplifikasi materi-materi / keilmuan, bahkan learning process dalam formatnya saat ini pun dibakukan oleh institusi kampus sesuai dengan kebutuhan pasar - dengan dalih menajamkan profesionalitas. Maka kemudian, jika kita teliti lebih dalam, di kampus saat ini akan tampak sosok-sosok mahasiswa yang sangat inovatif dalam hal teknis (mikro bidang), namun semakin dangkal dalam argumentatif (kerangka pikir komprehensif). Mereka semakin berat dan malas untuk diajak berpikir mendalam, lola ‘loading lama’. Karena berbagai tuntutan tersebut, mereka saat ini, menurut saya lebih banyak tersibukan oleh hal-hal atau aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan kepentingan pribadinya (jadi semakin individualis dan pragmatis). Jadilah berikutnya pergerakan kemahasiswaan pun mandul dalam kreasi berpikir kritis dan berpikir integral terhadap lingkungan sosialnya.
Inilah hubungan ‘erat’ yang menjadikan mahasiswa dan pergerakannya tidak beredar pada poros yang seharusnya, sebagai ‘agen dan aktor perubahan’. Atau dalam bahasa yang mba nyatakan di awal, bahwa “keberadaan mereka yang katanya sebagai ‘pengawal perubahan’ itu, terasa hanya letupan semangat sesaat, labil, cepat redup, dan bergerak jika ada arahan. Idealisme hanya tertuang dalam kata, namun tidak hadir dalam realita”. Benar, begitulah keberadaan kampus saat ini, yang saya pikir tidak dirasakan oleh para pendahulu aktor-aktor kampus sebelum masa / kurun ini. Hal inilah yang juga coba terus saya telaah dan rasakan.
Lantas, bagaimana dengan pergerakan dakwah kampus saat ini? Tentu hal ini menjadi evalusi bersama, apakah kondisi tersebut menimpa juga pada pergerakan dakwah kampus (beserta aktor-aktor yang berada di dalamnya) atau tidak. Maka cukuplah firman-Nya dalam QS. Al-Mujadallah [58]: 11 dan QS.Ash-Shaff [61]: 2-3, menjadi renungan bersama untuk memastikan keberadaan dan posisi kita saat ini (apakah kita menjadi pihak yang tergerus dalam roda sistem, ataukah tetap menjadi pihak yang senantiasa berjuang menghentikan gerusannya). Semoga kita semakin yakin terhadap janji-Nya, dengan bersegera meluruskan niat, mengokohkan barisan, dan mempercepat langkah; agar Ideologi Islam kembali memimpin umat ini, khususnya para intelektual kampus – dalam waktu dekat, insyaAllah.